Absurd
Identitas menurut Nirwan
Dewanto selalu berkaitan dengan ingatan, dalam ceramahnya pada sebuah acara.
Dengan melihat, mencium, meraba sesuatu, ingatan terketuk dan membuka
gerbang-gerbang nostalgia. Ketika mendengar suara azan magrib dan panorama
langit yang jingga serta berlariannya anak-anak kecil menuju surau, ingatan
saya terbuka dan mengantarkan saya pada asal usul pembentukan diri. Mendengar
suara seruling di sawah, dan melihat daun pisang terhampar dengan aroma khas
dari nasi liwet, pun mengantarkan saya pada tradisi saya. Atau pun ketika saya
mencium aroma minyak wangi yang sering digunakan olehnya, mengantarkan pada
cinta pertama saya, Dee Lestari dalam buku Aroma Karsa menuliskan “Aroma adalah
jangkar bagi kenangan”. Dan kiranya mungkin identitas terbentuk dari
partikel-partikel kenangan.
Ingatan begitu rentan, apalagi dewasa ini. Dengan dunia yang begitu bergegas, modernitas membuat ingatan kita semakin tumpul. Kita tak perlu lagi mengingat apa yang dilakukan kemarin hari, tinggal klik saja fitur riwayat yang tersedia dan data-data tersusun rapi dalam big data. Goenawan Mohammad dalam esainya menuliskan “Bahasa adalah perekam”, itulah sebabnya catatan harian ditulis, pengalaman dikisahkan, puisi digubah. Dengan itu orang mendambakan hadirnya kembali apa yang dialami, meskipun tentang hal yang sebenarnya tak dapat dihadirkan kembali
*
Beberapa menit lalu saya
sedang menyapu. Menyapu adalah kegiatan yang saya senangi, ia salah satu
kegiatan yang dapat membuat diri fokus pada apa yang dikerjakan, melihat
detail-detail debu yang tertinggal, merasakan partikel-partikel kecil kotoran
yang menempel di telapak kaki, dan memprediksi hembusan angin yang berpotensi
menghancurkan tatanan fondasi kotoran yang berkerumun.
Dari menyapu di kontrakan
kawan, saya mendapati inspirasi untuk menulis ini, meski saya tidak tahu akan
ke mana arah tulisan ini menuju. Haruskah setiap “berangkat” mempunyai tujuan?
Apakah ikan-ikan di lautan luas itu memiliki tempat? Di dalam keidealan,
memiliki rumah yang beratap langit, lampu-lampu terbuat dari bintang-bintang
yang berkedip, dan berbaring di atas emas, adalah hal yang indah, setidaknya
bagiku. Tetapi, ketika hal tersebut terwujud, tak seindah imajinasi. Kenapa?
Apakah imajinasi lebih digdaya ketimbang kenyataan? tetapi kita hidup di dunia
nyata.
*
Fuck, aku benci tulisan
ini!
Komentar
Posting Komentar