Cinta tak Pernah Selesai

 


Rossi


Aku heran dengan angkuhnya kau mengatakan bahwa masih banyak ikan di lautan, masih banyak orang-orang yang sedang menunggu lajangmu. Benar ternyata, begitu beragam kita melihat cinta. Jelas sebabnya, bila cinta masih jadi perbincangan abadi umat manusia. Setiap perjalanan cinta akan menghasilkan beragam pernyataan cinta, ia tidak hitam atau pun putih, tetapi sebuah spektrum yang terus bertransisi mencari keakuratannya.

Keherananku timbul mungkin karena belum jauhnya perjalananku. Ya, aku yakin itu sebabnya. Perjalanan akan selalu mengantarkan kita pada sebuah pertanyaan, mengantarkan pada sebuah jawaban. Dari sana, apakah benar bahwa hidup itu hanya memecahkan sebuah pertanyaan, dan lalu mempertanyakan kembali. Selalu seperti itu kah? Ya, kalo tidak seperti itu, lalu apalagi? Perjalanan berikutnya mungkin akan menjawab.

Temanku, di suatu hari yang lalu, aku pernah menjadi Sangkuriang, mengerjakan tugas pacar aku, yang secara tersirat bisa dikatakan sebagai syarat resolusi konflik dari permasalahan yang sedang kita miliki, tentu apa pun itu, dengan senang hati aku melakukannya. Dalam tugas itu aku harus mencermati, menganalisis 5 jurnal penelitian kuantitatif untuk menemukan mana variabel independen, variabel dependen, variabel intervening, rumusan masalah, hipotesis, dan teori yang digunakannya. Hal tersebut menantang sekali, karna aku sama sekali belum pernah belajar akan hal itu, tidak mengerti apa itu variabel independen, ataupun variabel dependen.

Semenjak aku sedang mengerjakan tugas tersebut, aku mengerti apa itu variabel-variabel tersebut. Setelah kurenungi hal ini bisa dikaitkan dengan pola percintaanku ternyata, ini mungkin terdengar lebay, atau yang sering dikatakan pacarku adalah alay. Ketika dirimu adalah pacarku, kamu adalah variabel independen yang menentukan aku sebagai variabel dependen. Kesedihanku atau kebahagiaanku selalu bergantung padamu yang sudah kunobatkan sebagai pujaanku. Ya, walaupun terdengar menggelikan tapi itu adalah kenyataan. Kukerjakan itu semalam, hingga tanda selesai waktu kreatifku adalah ketika sahur datang. Ini seperti Sangkuriang, yang tanda berakhirnya waktu membuat sebuah perahu adalah suara ayam berkokok. Yang membedakan aku dan Sangkuriang Tangkuban Parahu adalah aku berhasil mendapatkannya kembali, sementara Sangkuriang tidak.

Akhir-akhir ini cinta yang kupahami adalah ketika kita menderita, tapi tidak merasakannya. Lalu aku ingin bertanya padamu sebuah pertanyaan yang akan selalu relevan, apa itu cinta?

Apa yang terbersit dalam pikiranmu ketika kubertanya, apa itu cinta?

Teman, terlihatkah oleh matamu juga hatimu, kata-kata ini penuh dengan memar, luka-luka mengiasi kalimat-kalimat yang kuuntai.

Temanku, aku kebingungan, apakah seorang yang tegas dalam kehidupannya akan tegas dalam hal cinta?  Karna aku merasakan, dalam konteks cinta, dilema itu sebuah keniscayaan. Aku seakan-akan tak bisa memegang teguh apa yang sudah kuputuskan. Ketegasan tampak tak berarti di sana, karna cinta begitu aneh, tak dapat dipahami. Guna dari sejarah adalah agar kita bisa belajar dari masa lalu melalui pola-pola yang telah dipilih, tapi dalam cinta itu unik, pola-polanya berubah, tak dapat kupahami.

Sekarang aku menyadari, entah itu hanya dalam konteks cinta saja, atau pun di luar konteks cinta. Aku begitu susah membuat keputusan, tapi sepertinya, ini hanya dalam cinta saja, sebab di luar itu aku bisa memperjuangkan dan menindaklanjuti sebuah keputusan.

Yang kurenungi juga adalah tentang sejarah. Sejarah dunia, sejarah nasional, sejarah pribadi, apa pun itu, yang kutemukan kesamaan dari itu semua adalah apa pun keputusan yang diambil, hal itu kelak akan selalu dihargai oleh sejarah, entah dihargai sebagai antagonis, atau protagonis. Justru yang tak dihargai oleh sejarah adalah yang tak mengambil keputusan sama sekali. Aku ingin dihargai oleh sejarah.



   

Komentar

Postingan Populer